Senin, 14 Desember 2009

Tiga Kelopak

***
Di taman ini
Kupijakkan kaki dengan tenang dan damai
Tanpa lirih senandung kabut yang muram durjakan hati
Hanya hening simfoni mentari yang gegap gempitakan jiwa

Titik titik kesejukan berjatuhan di atas ragaku
Saat kutelusuri labirin-labirin taman ini
Dengan wangi yang tak kalah menusuk pusat saraf olfaktori

Kujelajahi dan terus kukagumi
Sampai kutiba pada sekat tertutup kelam
Dengan bunga-bunga rupawan di depan mata, tapi suram di belakang punggung
Aku tak mengenalnya, walau kudengar kisah tentangnya
Kucoba menjauh namun ia begitu dekat
Hingga kulihat tiga kelopak
Yang coba bermain di tepi balkon kegundahan hatiku
Membuatku sedikit riang berselimut cemas

Ingin kupetik satu kelopak saja
Berwarna putih merekah tenang
Kulihat kilau darinya
Silaukan mata tapi tak butakan hati
Hati bergetar saat berucap
Dengan lidah di balik tabir
Tapi cinta tetap terpancar
Terang menyusur dalam temaram
Tak ada yang tahu, kecuali “kita”

Satu kelopak angkat suara, tentang gundahnya akan cinta
Hingga gundahnya juga gundahku
Namun tetap tunduk pada sang Raja
Dan tetaplah bersemayam disitu, menunggu waktu yang tepat
Ia tersenyum, dalam tanda tanya

Dua kelopak buka topengnya
Entah sadar atau tak sadar
Terlihat sudah layu tangkainya
Di balik jubah terlihat megah

Tiga kelopak yang tersirat...
membiaskan diri bagai keindahan, tapi tak tahu bayang di baliknya.
Haruskah di pangkas dan dibakar? atau dilembutkan dan dibersihkan dengan air sejuk nan mulia? hingga terobek kesamaran darinya...

Jakarta, 14 Desember 2009
23.38