Sabtu, 06 September 2008

Seperlima Abad

***
6 September 1988 – 6 September 2008
24 Muharram 1409 – 6 Ramadhan 1429

Tak ada yang istimewa dari diri yang semakin dekat dengan nisan ini. Melangkahi detik-detik yang terpancar warna-warni, melewati batas-batas bawah sadar, menggeliat cari aduan, di tempat asing yang telah temani jasad di sebagian masa.

Bertanya diri tentang lintasan ini, merengkuh titik-titik persinggahan, terukurkah dengan bijak? Atau cuma sekedar cerita tentang kesia-siaan? Tentang diri yang buram melihat bayangan, bahkan buram melihat sang penguasa.

Dimana engkau selama ini sobat? Nafasmu masih berhembus harmonis dengan aliran darahmu. Detak jantungmu masih mampu mengirim darah sampai ke kapiler terkecil di balik korteks serebri. Otakmu masih ciptakan ribuan reaksi kimia dan lonjakan-lonjakan listrik.

Tapi apa jiwamu sesehat ragamu?
Mencari arti memang tak mudah, apalagi di sela sang hidup yang begitu kompleks. Mengiring tawa berbayang lirih pada sya’ir-syai’r kedamaian. Saat sempurna naungi kealpaan akan kasih sayang. Terlupa riuh gema sabda, yang cantik berhias taman-taman rindang. Pada oase penghilang dahaga jiwa yang kering. Bahkan kepahaman tentang arti itu masih dipertanyakan.

Hidup ini berbatas sobat…
Engkau tak lebih hanya menunggu akhir hidupmu. Menunggu jiwamu diambil, dan engkau terbujur kaku di liang sempit, menanti saat berjumpa penciptamu. Mungkin itu akan menjadi taman surgamu, atau malah menjadi ruang kesengsaraanmu. Yah…semuanya kembali pada catatan-catatan di lintasanmu, pada tinta yang telah engkau torehkan…

Mengalir dan terus mengalir, hanya syukur dan pujian tertinggi untuk yang maha tinggi. Seperlima abad ini masih menjadi otoritasku atas izin-Nya. Entah kapan otoritas ini akan dicabut. Mereka-reka pastinya bukan hal yang baik. Hanya konstruktor kebaikan yang harus terus bekerja tanpa henti, hingga tak sanggup lagi mengalir pada untaian ayat-ayat maha sempurna. Dan destruktor keburukan yang juga mau bekerja layaknya konstruktor kebaikan tadi.

Tangis jiwa ini masih terdengar samar-samar. Sesak sesal jadi hiasan yang terkadang datang hibur diri, kala jiwa dan raga tak mau kompromi. Menahan asa dan memeluk gelisah, memetik sari suci dan merajut kapas tapak cinta, hanya temani diri, bukan tak mau pergi, terus merangkak, panjat tanjakan berduri, terluka dan tertatih dalam jeram…Inilah…inilah sang hidup. Terus pekik suara lembut, manusia tak peduli padanya, berbisik tolak kegelapan, tapi manusia malah halangi dan giring kegelapan itu mendekat. Semakin terasing, tak tahu hitam putih mereka. Diri hendak teranginya, dan musuh tetap pada kegelapannya. Inilah…inilah sang hidup, di terminal ke dua puluh.
Ingin terus ku berdiri di lintasan ini, yang terang memberi petunjuk, pada diri ini, dan diri-diri lain yang selalu di hati, dengan cinta-Nya, sampai akhir nafas ini, sampai kafan menutupi tubuh ini.

Ya Allah…
Ampuni aku atas kesia-siaan yang kulakukan di seperlima abad hidupku
Jadikan tahun-tahunku berikutnya lebih baik dan lebih berarti
Berikan aku ilmu yang bermanfaat, amal yang saleh, dan rezeki yang berkah
Tetapkanlah aku pada istiqomah dan kesabaran di jalan-Mu
Dan jika hidupku harus berakhir, maka matikanlah aku sebagai syuhada di jalan-Mu

Ya Allah…
Aku tak tahu, apa aku akan merasakan 6 September 2009, atau tidak
Semua dari-Mu, dan akan kembali pada-Mu…

Jakarta, 6 September 2008
01.53
Di tahunku yang ke-20

4 komentar:

  1. Renungan loe oke banget roel!!

    Selamat Hari Jadi yah!!!

    Semoga kedepannya engkau semakin berkenan kepada-Nya!!

    Amin!!!

    BalasHapus
  2. walah amirul. bagus bgt kata2nya..dirangkai dlm berapa bulan rul? hehe bcanda..

    BalasHapus
  3. hoooy..enak aja, semalaman doang kok :-)

    BalasHapus