Minggu, 20 September 2009

Lagi-Lagi Hadits Dha'if dan Maudhu...(Kali ini tentang Ramadhan)

***

saudara2 sekalian rahimakumullah, jangan bosan-bosan yah diingatkan tentang hadits-hadits dha'if dan maudhu. Karena memang hadits-hadits ini sudah banyak menyebar dan diamalkan di masyarakat. Bahkan para da'i pun sangat sering membawakannya di ceramah-ceramah mereka. Tak terkecuali di bulan ramadhan ini.



Kali ini saya akan menyebutkan beberapa hadits dhaif dan maudhu seputar ramadhan. Saya menyebutkan periwayat, sanad, dan penjelasannya secara lengkap, serta koreksinya jika ada.



HADITS 1



“Berpuasalah, kalian akan sehat.”



Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di Ath Thibbun Nabawi sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), oleh Ath Thabrani di Al Ausath (2/225), oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (3/227).



Hadits ini dhaif (lemah), sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), juga Al Albani di Silsilah Adh Dha’ifah (253). Bahkan Ash Shaghani agak berlebihan mengatakan hadits ini maudhu (palsu) dalam Maudhu’at Ash Shaghani (51).




Keterangan: jika memang terdapat penelitian ilmiah dari para ahli medis bahwa puasa itu dapat menyehatkan tubuh, makna dari hadits dhaif ini benar, namun tetap tidak boleh dianggap sebagai sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.





HADITS 2



“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.”



Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1437).



Hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani juga mendhaifkan hadits ini dalam Silsilah Adh Dha’ifah (4696).



Terdapat juga riwayat yang lain:



“Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadah meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.”



Hadits ini diriwayatkan oleh Tammam (18/172). Hadits ini juga dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (653).



Yang benar, tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah.



Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur karena malas, atau tidur karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-malasan.



HADITS 3



“Wahai manusia, bulan yang agung telah mendatangi kalian. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1. 000 bulan. Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai ibadah tathawwu’ (sunnah). Barangsiapa pada bulan itu mendekatkan diri (kepada Allah) dengan satu kebaikan, ia seolah-olah mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa mengerjakan satu perbuatan wajib, ia seolah-olah mengerjakan 70 kebaikan di bulan yang lain. Ramadhan adalah bulan kesabaran, sedangkan kesabaran itu balasannya adalah surga. Ia (juga) bulan tolong-menolong. Di dalamnya rezki seorang mukmin ditambah. Barangsiapa pada bulan Ramadhan memberikan hidangan berbuka kepada seorang yang berpuasa, dosa-dosanya akan diampuni, diselamatkan dari api neraka dan memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tadi sedikitpun” Kemudian para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidak semua dari kita memiliki makanan untuk diberikan kepada orang yang berpuasa.” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata, “Allah memberikan pahala tersebut kepada orang yang memberikan hidangan berbuka berupa sebutir kurma, atau satu teguk air atau sedikit susu. Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api neraka.”



Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887), oleh Al Mahamili dalam Amaliyyah (293), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (6/512), Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib (2/115)



Hadits ini didhaifkan oleh para pakar hadits seperti Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (2/115), juga didhaifkan oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabi di Sifatu Shaumin Nabiy (110), bahkan dikatakan oleh Abu Hatim Ar Razi dalam Al ‘Ilal (2/50) juga Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (871) bahwa hadits ini Munkar.



Yang benar, di seluruh waktu di bulan Ramadhan terdapat rahmah, seluruhnya terdapat ampunan Allah dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang mukmin untuk terbebas dari api neraka, tidak hanya sepertiganya. Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini adalah:



“Orang yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no.38, Muslim, no.760)



Dalam hadits ini, disebutkan bahwa ampunan Allah tidak dibatasi hanya pada pertengahan Ramadhan saja.



Adapun mengenai apa yang diyakini oleh sebagian orang, bahwa setiap amalan sunnah kebaikan di bulan Ramadhan diganjar pahala sebagaimana amalan wajib, dan amalan wajib diganjar dengan 70 kali lipat pahala ibadah wajib diluar bulan Ramadhan, keyakinan ini tidaklah benar berdasarkan hadits yang lemah ini. Walaupun keyakinan ini tidak benar, sesungguhnya Allah ta’ala melipatgandakan pahala amalan kebaikan berlipat ganda banyaknya, terutama ibadah puasa di bulan Ramadhan.



CATATAN KHUSUS UNTUK HADITS INI:



Hadits ini telah dimuat di buletin dentist BPI edisi ramadhan terbaru. Maka saya selaku ketua, memohon maaf atas ketidaktelitian tim dentist dalam menyeleksi hadits. Harap maklum. =)



HADITS 4



كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت فتقبل مني إنك أنت السميع العليم



“Biasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika berbuka membaca doa: Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minni, innaka antas samii’ul ‘aliim.”



Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya (2358), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (4/1616), Ibnu Katsir dalam Irsyadul Faqih (289/1), Ibnul Mulaqqin dalam Badrul Munir (5/710)



Ibnu Hajar Al Asqalani berkata di Al Futuhat Ar Rabbaniyyah (4/341) : “Hadits ini gharib, dan sanadnya lemah sekali”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Asy Syaukani dalam Nailul Authar (4/301), juga oleh Al Albani di Dhaif Al Jami’ (4350). Dan doa dengan lafadz yang semisal, semua berkisar antara hadits lemah dan munkar.



Sedangkan doa berbuka puasa yang tersebar dimasyarakat dengan lafadz:



اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم الراحمين



“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku berbuka, aku memohon Rahmat-Mu wahai Dzat yang Maha Penyayang.”



Hadits ini tidak terdapat di kitab hadits manapun. Atau dengan kata lain, ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Al Mulla Ali Al Qaari dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih: “Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan tambahan ‘wabika aamantu’ sama sekali tidak ada asalnya, walau secara makna memang benar.”



Yang benar, doa berbuka puasa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam terdapat dalam hadits:



كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله



“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa membaca doa:



ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله



Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah



(’Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah’)”



Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud (2357), Ad Daruquthni (2/401), dan dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah, 2/232 juga oleh Al Albani di Shahih Sunan Abi Daud.



HADITS 5



“Orang yang sengaja tidak berpuasa pada suatu hari di bulan Ramadhan, padahal ia bukan orang yang diberi keringanan, ia tidak akan dapat mengganti puasanya meski berpuasa terus menerus.”



Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di Al’Ilal Al Kabir (116), oleh Abu Daud di Sunannya (2396), oleh Tirmidzi di Sunan-nya (723), Imam Ahmad di Al Mughni (4/367), Ad Daruquthni di Sunan-nya (2/441, 2/413), dan Al Baihaqi di Sunan-nya (4/228).



Hadits ini didhaifkan oleh Al Bukhari, Imam Ahmad, Ibnu Hazm di Al Muhalla (6/183), Al Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (7/173), juga oleh Al Albani di Dhaif At Tirmidzi (723), Dhaif Abi Daud (2396), Dhaif Al Jami’ (5462) dan Silsilah Adh Dha’ifah (4557). Namun, memang sebagian ulama ada yang menshahihkan hadits ini seperti Abu Hatim Ar Razi di Al Ilal (2/17), juga ada yang menghasankan seperti Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah (2/329) dan Al Haitsami di Majma’ Az Zawaid (3/171).





Oleh karena itu, ulama berbeda pendapat mengenai ada-tidaknya qadha bagi orang yang sengaja tidak berpuasa.



Yang benar -wal ‘ilmu ‘indallah- adalah penjelasan Lajnah Daimah Lil Buhuts Wal Ifta (Komisi Fatwa Saudi Arabia), yang menyatakan bahwa “Seseorang yang sengaja tidak berpuasa tanpa udzur syar’i,ia harus bertaubat kepada Allah dan mengganti puasa yang telah ditinggalkannya.” (Periksa: Fatawa Lajnah Daimah no. 16480, 9/191)



Membatalkan puasa secara sengaja memang sebuah dosa besar, dan hadits shahih tentang masalah ini adalah:



Dari Abi Umamah Al-Bahili Radhiallahu'anhu, Aku pernah mendengar Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda :



"Ketika aku tidur, datanglah dua orang pria kemudian memegang dhobaya (dua lenganku) membawaku kesatu gunung yang kasar (tidak rata), keduanya berkata : "Naik, aku katakan : "aku nggak mampu, keduanya berkata: "kami akan memudahkanmu," akupun naik hingga ketika aku sampai ke puncak gunung ketika itulah aku mendenganr suara yang keras. Akupun bertanya : "Suara apakah ini ? Mereka berkata: "Ini adalah teriakan penghuni neraka kemudian keduanya membawaku, ketika aku melihat orang-orang yang digantung dengan kaki diatas, mulut mereka rusak/robek, darah mengalir dari mulut mereka. Aku bertanya: "Siapakah mereka ? keduanya menjawab : "mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum halal puasa mereka."

(Riwayat An-Nasa'I dalam "Al-Kubra" sebagaimana dalam "tuhfatul Asyraf" (4/166) dan Ibnu Hibban (no. 1800- zawahidnya) dan Al-Hakim (1/430) dari jalan Abdur Rahman bin Yazid bin Jabir, dari Salim bin Amir, dari Abu Umamah. Sanadnya SHAHIH).





HADITS 6



“Bulan Ramadhan bergantung di antara langit dan bumi. Tidak ada yang dapat mengangkatnya kecuali zakat fithri.”



Hadits ini disebutkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib (2/157). Al Albani mendhaifkan hadits ini dalam Dhaif At Targhib (664), dan Silsilah Ahadits Dhaifah (43).



Yang benar, jika dari hadits ini terdapat orang yang meyakini bahwa puasa Ramadhan tidak diterima jika belum membayar zakat fithri, keyakinan ini salah, karena haditsnya dhaif. Zakat fithri bukanlah syarat sah puasa Ramadhan, namun jika seseorang meninggalkannya ia mendapat dosa tersendiri.



HADITS 7

“Barangsiapa memberi hidangan berbuka puasa dengan makanan dan minuman yang halal, para malaikat bershalawat kepadanya selama bulan Ramadhan dan Jibril bershalawat kepadanya di malam lailatul qadar.”



Hadist ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (1/300), Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1441), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Adh Dhuafa (3/318), Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (1/152)



Hadits ini didhaifkan oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhuat (2/555), As Sakhawi dalam Maqasidul Hasanah (495), Al Albani dalam Dhaif At Targhib (654)




Yang benar,orang yang memberikan hidangan berbuka puasa akan mendapatkan pahala puasa orang yang diberi hidangan tadi, berdasarkan hadits:



من فطر صائما كان له مثل أجره ، غير أنه لا ينقص من أجر الصائم شيئا



“Siapa saja yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang lain yang berpuasa, ia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa sedikitpun mengurangi pahalanya.” (HR. At Tirmidzi no 807, ia berkata: “Hasan shahih”)



HADITS 8

“Lima hal yang membatalkan puasa dan membatalkan wudhu: berbohong, ghibah, namimah, melihat lawan jenis dengan syahwat, dan bersumpah palsu.”



Hadits ini diriwayatkan oleh Al Jauraqani di Al Abathil (1/351), oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131)



Hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131), Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (1708).




Yang benar, lima hal tersebut bukanlah pembatal puasa, namun pembatal pahala puasa. Sebagaimana hadits:



من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل ، فليس لله حاجة أن يدع طعامه وشرابه



“Orang yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, serta mengganggu orang lain, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya.” (HR. Bukhari, no.6057)



HADITS 9

“Kalaulah seandainya kaum muslimin tahu apa yang ada di dalam Ramadhan, niscaya umatku akan berangan-angan agar satu tahun Ramadhan seluruhnya. Sesungguhnya surga dihiasi untuk Ramadhan dari awal tahun kepada tahun berikutnya…” Hingga akhir hadits ini.



Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (no. 1886) dan Ibnul Jauzi di dalam Kitabul Mauduat (2/188-189) dan Abul Ya'la di dalam Musnad-nya sebagaimana pada Al Muthalibul 'Aaliyah (Bab/A-B/ tulisan tangan) dari jalan Jabir bin Burdah dari Abu Mas'ud Al Ghifari.



Hadits ini maudhu' (palsu), penyakitnya pada Jabir bin Ayyub, biografinya ada pada Ibnu Hajar di dalam Lisanul Mizan (2/101) dan beliau berkata: “Masyhur dengan kelemahannya.” Juga dinukilkan perkataan Abu Nu'aim, “Dia suka memalsukan hadits,” dan Bukhari, berkata, “Mungkarul hadits” dan dari An Nasa'i, “matruk (ditinggalkan) haditsnya.”



Ibnul Jauzi menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu, dan ibnu Khuzaimah berkata serta meriwayatkannya, “Jika haditsnya shahih, karena dalam hatiku ada keraguan pada Jarir bin Ayyub Al Bajali.”




HADITS 10



"Barangsiapa beri'tikaf sepuluh hari di bulan Ramadhan, maka sama pahalanya seperti dua kali dan dua kali umrah."



Hadits maudhu' (paisu). Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Asy Syu'abdari hadits AI Husain bin Ali; secara marfu'. Lalu beliau berkata,"Sanadnya dha'if, Muhammad bin Zadan seorang periwayat hadits ini- adalah seorang matruk (ditinggalkan haditsnya)." Imam Al Bukhari berkata, "Haditsnya tidak boleh

ditulis."



Dalam sanadnyajuga terdapat periwayat bernama 'Anbasah bin Abdurrahman. Al-Bukhari berkata,"Mereka (ahli hadits) meninggalkan (hadits)nya." Adz Dzahabi berkata dalam Adh Dhu'afa, "Dia itu matruk dan tertuduh memalsukan hadits-."Adz Dzahabi dalam Al Mizan menukil dari Abu Hatim, bahwa is berkata tentang'Anbasah-,"Dia memalsukan hadits", dan ini salah satunya.




PENUTUP

Alhamdulillah, demikianlah beberapa hadits lemah dan palsu yang bisa saya bawakan. Sebenarnya masih ada lagi hadits-hadits lemah dan palsu yang tidak saya masukkan dalam tulisan ini. Silahkan merujuk ke referensi, jika ingin mengetahui.



Semoga Allah senantiasa menjaga kita dari hadits-hadits lemah dan palsu yang banyak merebak di masyarakat. Wallahu A'lam bi shawab.



REFERENSI:



[1] SHIFATI SHAUMIN NABIYYI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM FII RAMADHAN / SIDAT PUASA NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM(Syaikh Salim bin 'Id Al-Hilaaly dan Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid)



[2] Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu (Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani)



[3] 12 Hadits Lemah dan Palsu Seputar Ramadhan. http://muslim.or.id/hadits/12-hadits-lemah-dan-palsu-seputar-ramadhan.html



[4] Hadits Dha’if Dan Palsu Seputar Puasa Ramadhan. http://jilbab.or.id/archives/241-hadits-dhaif-dan-palsu-seputar-puasa-ramadhan/



[5] Hadits-Hadits Dha’if SeputarRamadhan. Ustadz Arif Syarifuddin, Lc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar