Kamis, 04 Maret 2010

Dialog pedang bermata dua

***
بسم الله الرحمن الرحيم

Entah bagaimana lagi kuharus menyikapi makhluk yang selalu berbolak-balik ini, di saat ia kembali diuji dengan pedang bermata dua. Saat pilihan benar-benar ada di genggaman, dan pedang itu mesti terhunus dengan salah satu matanya, bukan keduanya. Aku tak memahami, apakah telah sampai waktu yang ditunggu itu, sementara jiwa raga terlalu tidak siap untuknya. Kucoba mengambil cermin jernih dan kuhadapkan pada diri pemikir ini, dan kuurai jaring-jaring gelisah menjadi hiasan terang di depan pelupuk mata, dan ia pun mencoba jadi pelitaku tuk menilai bayangan yang coba goncangkan hati.

Samar terang silih berganti tentang bayangan bidadari hiasan kalbu. Diri ini hampir tak sanggup menahan frekuensi gelombang yang dipancarkannya, luluhlantahkan saraf-saraf sensitif yang menerawang cari aduan. Akhirnya berangan akan bahagia dalam langkah derap rapi, terbang damai bersama angan, jauh susuri belantara mimpi indah.


Cinta…saat semua orang memuja keagungan dan eksistensinya, aku justru mempertanyakannya. Kaki ini telah jauh melangkah, arungi berbagai jalan kehidupan yang penuh misteri. Layaknya sebelumnya, ini adalah jalan yang telah kulalui berulang kali, tapi aku selalu lemah dibuatnya, belum cukupkah pelajaranku tentang ini? Apa perlu aku kembali belajar pada jejak-jejak referensi yang kutulis sendiri? Atau kumenyerah lagi saja padanya?
Oh tidak kawan, itu terlalu mengerikan, hidupmu adalah pelajaranmu, dan kau lebih tahu akan hal itu. Maka engkau terlalu lemah dan hina jika menyerah di ujian ini, di ujian yang telah engkau lalui berulang kali.

Maka pergulatan ini pun terus berlanjut sampai rangkaian kata-kata ini lahir, semakin tak paham, dan kubutuh wasit yang dapat menengahi. Terlalu indahkah ia hingga menyilaukanmu tuk berpikir realistis dan benar? Jawabannya mungkin ia kawan, yah…ia sangat indah, tapi sadarkah kau akan waktumu? sadarkah kau akan dirimu yang belum siap, maka ambillah pedang tadi, dan hunuskanlah sesuai nuranimu!

Aku tercengang dengan jawaban itu, maka kuambillah pedang itu, namun belum kuhunuskan, menunggu nurani reda dalam berkobar, menunggunya semakin bijak, menunggunya bicara tentang kebenaran.

Jakarta, 17 Februari 2010
00.38


2 komentar: