Sabtu, 21 Maret 2009

Di Persimpangan itu


Kuteringat pada suatu masa saat diri merangkak di tengah kepolosan, mencari tahu apa yang ia lihat, dengar, dan rasakan. Tak peduli akan ini dan itu, hanya bebas menggeliat di sudut terang tanpa pagar pembatas yang kokoh. Masa yang sangat berbeda dengan detik ini, saat jiwa ingin terbang melayang, namun tak sanggup lewati barikade yang siap menjulurkan senapannya tepat di wajahku.

Apa yang terlihat, terdengar, dan terasa, hanya berputar ingin cabut rajutan mimpi, akan rasa yang terus bertanya…tentang jalan di depanmu, ya…persimpangan itu. Persimpangan itu yang bergolak tarik kepelikan masa, bukan sekedar berbicara, tapi mengingatkan dan menguji keteguhan nurani.
Tak samar lagi di pelupuk, hanya tinggal menunggu bijak, untuk hempaskan arah tujuan. Langkah ini memang berat, semua jalan terlihat berkilau, menipu dan terdiam nantikan isyarat.

Jangan pergi sang penyejuk! Senyum riuh masih bergemuruh diatas peraduan, tak ingin tangkal pedih seorang diri, sunyi, merana…hingga merangkak tak kau arti, hingga menggali kubur sendiri, hingga lenyap tak berbunyi, hingga dilupa oleh zaman, tinggal bekas onggok tak guna.

Tidak…
Muara itu terlalu mengerikan. Diri yang miskin tak sanggup, tak sanggup, dan tak sanggup…

Menanti kompas tuk arahi…sebab bukan persimpangan pertama, namun berton-ton lawan menari dan menarik, sambil menampar sesekali, tuk ingatkan angkuh yang muncul. Namun kompas seakan patah dan tak tahu arah. Ia terkapar dan berkata:”ini persimpanganmu.” Maka diri harus bangkit, tanpa harapan pada siapapun, kecuali diri itu sendiri, dan Dia yang maha tinggi.

Kutermenung dan terdiam, masih di hadapan persimpangan ini, sebab bukan sekedar jalan. Menanti bijak tuk memilih…atau tidak memilih sama sekali…

Jakarta, 22 Maret 2009
02.29

Tidak ada komentar:

Posting Komentar