Selasa, 31 Maret 2009

Nitip Absen Dong...

***
Tulisan ini terinspirasi dari sebuah fenomena yang bisa dibilang sudah sangat lumrah di kalangan mahasiswa, yakni nitip absen bagi yang tidak hadir kuliah. Saya sendiri juga pernah melakukannya, baik sebagai orang yang minta nitipin absen, maupun orang yang diminta untuk ngabsenin...dan baru aja tadi pagi, seorang teman mengirim sms pada saya untuk nitipin absen, untungnya saya juga gak masuk kuliah...hehehe=)

Nah, setelah berpikir dan belajar agama, saya pun meninggalkannya, karena Allah. Bukan tanpa alasan lho, so, berikut artikel yang saya kutip dari http://www.muslimah.or.id yang berkenaan dengan masalah ini:

Pertanyaan:

Adakalanya teman kuliah saya meminta bantuan saya untuk mencantumkan tanda kehadirannya walaupun sebenarnya ia absen (tidak hadir) yaitu ketika diedarkannya daftar hadir, saya menuliskan namanya. Apakah ini termasuk bantuan kemanusiaan atau merupakan kecurangan dan penipuan?

Jawaban:

Itu memang bantuan, tapi bantuan syaithani, setan cenderung kepada orang yang mencantumkan tanda hadir orang lain yang sebenarnya tidak hadir. Ada tiga catatan dalam hal ini:

Pertama: Bohong

Kedua: Menipu civitas akademika

Ketiga: Menyebabkan orang yang tidak hadir itu berhak terhadap insentif kehadiran (yang sebenarnya tidak dihadiri) sehingga ia mengambil insentif tersebut dan memakannya dengan cara peroleh yang bathil. Satu saja dari ketiga hal ini, cukup untuk mengharamkan perbuatan tersebut yang mungkin dipandang sebagai bantuan kemanusiaan.

Bantuan kemanusiaan tidak mutlak selamanya terpuji, karena yang terpuji hanyalah yang sesuai dengan syariat adapun yang menyelisihinya tentu tercela. Sebenarnya yang menyelisihi syariat, bila disebut bantuan kemanusiaan, berarti penamaan yang bukan pada tempatnya, karena yang menyelisihi syariat itu merupakan perbuatan hewani. Karena itulah Alloh menyatakan perbuatan kaum kuffar dan kaum musyrikin seperti perbuatan binatang, sebagaimana firman-Nya,

“Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka.” (Muhammad: 12)

Dalam ayat lain disebutkan:

“Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu.” (Al Furqon: 44)

Jadi semua yang menyelisihi syariat itu merupakan perbuatan hewani, bukan manusiawi.

(Fatawa Islamiyyah, Syaikh Ibnu Utsaimin)

Waha Para Mahasiswa sesungguhnya Ujian dan Absen benar - benar merupakan Ujian bagi kejujuranmu …

Sabtu, 21 Maret 2009

Di Persimpangan itu


Kuteringat pada suatu masa saat diri merangkak di tengah kepolosan, mencari tahu apa yang ia lihat, dengar, dan rasakan. Tak peduli akan ini dan itu, hanya bebas menggeliat di sudut terang tanpa pagar pembatas yang kokoh. Masa yang sangat berbeda dengan detik ini, saat jiwa ingin terbang melayang, namun tak sanggup lewati barikade yang siap menjulurkan senapannya tepat di wajahku.

Apa yang terlihat, terdengar, dan terasa, hanya berputar ingin cabut rajutan mimpi, akan rasa yang terus bertanya…tentang jalan di depanmu, ya…persimpangan itu. Persimpangan itu yang bergolak tarik kepelikan masa, bukan sekedar berbicara, tapi mengingatkan dan menguji keteguhan nurani.
Tak samar lagi di pelupuk, hanya tinggal menunggu bijak, untuk hempaskan arah tujuan. Langkah ini memang berat, semua jalan terlihat berkilau, menipu dan terdiam nantikan isyarat.

Jangan pergi sang penyejuk! Senyum riuh masih bergemuruh diatas peraduan, tak ingin tangkal pedih seorang diri, sunyi, merana…hingga merangkak tak kau arti, hingga menggali kubur sendiri, hingga lenyap tak berbunyi, hingga dilupa oleh zaman, tinggal bekas onggok tak guna.

Tidak…
Muara itu terlalu mengerikan. Diri yang miskin tak sanggup, tak sanggup, dan tak sanggup…

Menanti kompas tuk arahi…sebab bukan persimpangan pertama, namun berton-ton lawan menari dan menarik, sambil menampar sesekali, tuk ingatkan angkuh yang muncul. Namun kompas seakan patah dan tak tahu arah. Ia terkapar dan berkata:”ini persimpanganmu.” Maka diri harus bangkit, tanpa harapan pada siapapun, kecuali diri itu sendiri, dan Dia yang maha tinggi.

Kutermenung dan terdiam, masih di hadapan persimpangan ini, sebab bukan sekedar jalan. Menanti bijak tuk memilih…atau tidak memilih sama sekali…

Jakarta, 22 Maret 2009
02.29

Kamis, 19 Maret 2009

E-Book Islam:Hadits Arbain An-Nawawi

Sebagian orang tentu sudah tidak asing dengan kitab yang satu ini. Berisi 42 hadits shahih(namun ternyata, 2 hadits diantaranya dhaif, penjelasannya telah ada di e-book ini).

Silahkan download di sini

dan silahkan di sebarkan tanpa tujuan komersil

Screen shot:





Rabu, 18 Maret 2009

Catatan Amir BPI (part I)

Oleh: Abu Hanifah Al-Furqon Ibnu Hiroshi Al-Kindary

Punya nama “Amirul” yang artinya “Pemimpin” saat ini bagiku terasa begitu berat, karena kini nama itu bukan lagi sekedar nama, namun telah sama dengan kenyataannya. Aku kini bertanya-tanya, apa aku memang dilahirkan untuk menjadi seorang pemimpin? Atau paling tidak orang tuaku mengharapkan demikian saat pertama kali memberiku nama itu?Apapun jawabannya, aku tetap merasa begitu berat, walaupun ini bukan pertama kalinya aku memimpin orang banyak. Tercatat dalam sejarah hidupku, beberapa kepemimpinan, baik yang kecil maupun cukup besar. Namun, baru kali ini aku memimpin sebuah lembaga dakwah, yang tentunya sangat berbeda dengan pengalaman-pengalamanku sebelumnya. Banyak konsekuensi yang harus kutanggung saat menerima amanah ini. Yah, hidup memang pilihan, ketika aku memilih menjadi seorang amir lembaga dakwah, maka segala konsekuensinya pun harus ku terima.

Yang kutahu, seorang amir lembaga dakwah adalah contoh dan teladan bagi setiap muslim di lingkungan tempat lembaga dakwah tersebut berada. Kalau secara khusus BPI, maka amir BPI adalah teladan bagi mahasiswa/i muslim di FKG UI. Allahu akbar…kalau memang seperti itu, maka pertanyaan kembali muncul, apakah aku pantas menjadi yang demikian?

Aku teringat pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang ia pimpin”(HR.Muslim)

Maka terlintaslah rasa takut yang luar biasa, jika mengingat hari dimana semua akan dipertanggunggjawabkan di hadapan Allah. Ketika tangan, kaki, dan semuanya bersaksi terhadap apa dilakukan selama di dunia. Tak terkecuali tentang semua yang kulakukan selama menjadi amir BPI (baca:da’i). Apa yang akan kukatakan, jika Allah subhana wata’ala bertanya:

- Apakah engkau telah menyeru orang-orang di sekitarmu untuk mengesakanku dan menjauhi syirik?
- Apakah engkau telah menyeru orang-orang di sekitarmu untuk meneladani Rasulullah dan menjauhi bid’ah?
- Apakah engkau telah menyeru orang-orang di sekitarmu untuk taat dan menjauhi maksiat?
- Apakah engkau berdakwah dengan ikhlas?
- Apakah engkau melakukan apa yang telah kau seru?

Astaghfirullah, ampuni dan lindungi aku ya Allah…
Saat ini bisa dibilang aku masih dalam proses muhasabah panjang terhadap diriku sendiri, sebelum aku bisa mengevaluasi BPI dan dakwahnya. Aku tak mau menyalahkan siapapun, kecuali diriku sendiri. Sudahkah aku istiqomah di atas sunnah? Sebelum aku bisa mengajak orang lain untuk berjalan di atas sunnah itu. Karena istiqomah diatas sunnah memang berat, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"Akan datang kepada umat ku suatu zaman di mana orang yang berpegang teguh kepada agamanya laksana menggenggam bara api”.(H.R. Tirmidzi, dari Anas bin Malik Radiallahu 'anhu)

Sudah hampir 3 bulan, kepengurusan ini berjalan, aku merasa masih sangat banyak kekurangan dalam dakwah BPI, dan banyak kekecewaan yang timbul. Mulai dari jumlah peserta pengajian yang sedikit (bahkan BPH dan pengurusnya pun masih enggan ikut pengajian BPI), dan lain-lain. Tapi seperti yang telah kukatakan, bahwa tidak ada yang akan kusalahkan kecuali diriku sendiri.

Aku tak ingin menjadikan BPI sebuah organisasi yang luar biasa, heboh, keren, eksis, atau bahkan bertaraf internasional seperti SALAM UI. Namun tujuanku cuma satu dan bisa dibilang susah-susah-gampang (banyakan susahnya), yakni memurnikan akidah, yang merupakan dasar yang paling penting dalam beragama. Sehingga pada akhirnya kita dapat membedakan 3 hal, yakni:
- Tauhid dan syirik
- Sunnah dan bid’ah
- Ketaatan dan kemaksiatan

Untuk mencapai tujuan itu, tentu akan sangat banyak rintangan dari musuh-musuh sunnah, baik dari kalangan orang-orang kafir, maupun dari kalangan orang-orang islam yang membenci sunnah. Tapi inilah dakwah, selalu ada tantangan. Dan tantangan ini pastinya belum seberapa dengan tantangan yang dihadapi oleh para Nabi dan Rasul. Maka tidak ada kata gentar dan putus asa…Allah bersama kita.

Aku memang bukan Amirul Mukminin, seperti Umar bin Khattab radiallahu ‘anhu, dan khalifah-khalifah setelahnya…Aku hanyalah manusia biasa, yang diberi tanggung jawab yang luar biasa…

Masih dalam hal introspeksi diri, aku teringat pada 3 hal yang akan selalu kita hadapi, yakni:
1. Hawa nafsu
2. Syetan
3. Dunia beserta isi dan keindahannya

Tiga hal inilah yang mungkin akan menjadi faktor predisposisi beratnya dakwah.Namun, seberat apapun dakwah ini, aku tetap terhibur dan bergembira, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"Senantiasa ada segolongan dari umatku yang memperjuangkan kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang menghinakan mereka sehingga datang keputusan Allah."(HR. Muslim)

Beliau juga bersabda:

"Sesungguhnya Islam pada permulaannya adalah asing dan akan kembali menjadi asing seperti pada permulaannya. Maka keuntungan besar bagi orang-orang yang asing."(HR. Muslim)

Aku berharap semoga aku BPI termasuk orang-orang yang terus memperjuangkan kebenaran, dan juga termasuk orang-orang yang asing, seperti hadits di atas.

Khatimah…
Saat ini tak ada yang kuinginkan selain dukungan dan doa dari teman-teman muslim, baik yang di BPI mapun di luar BPI, terhadap dakwah ini…
Kritik dan saran kalian akan sangat berharga… Barakallahu fiikum…

Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami bahwa yang benar adalah benar, dan berikanlah kekuatan untuk mengikuti kebenaran itu. Dan tunjukkanlah kepada kami bahwa yang salah adalah salah, dan berikanlah kekuatan untuk mengingkari kesalahan itu.

Wallahu ta’ala a’lam bishawab…

Jakarta, 17 Rabi’ul awal 1430
23.55