Rabu, 20 Mei 2009

Benarkah Perpecahan Adalah Rahmat?

***
Perselisihan dan kontradiksi pendapat yang mewarnai umat ini, seakan sudah menjadi perkara yang dianggap lumrah. Slogan-slogan dari sebagian orang yang mengatakan : “Perselisihan itu adalah rahmat, jadi diantara kita harus memiliki rasa toleransi”, atau “Kita saling tolong-menolong pada hal-hal yang kita sepakati dan kita bertoleransi pada hal-hal yang kita perselisihkan” pun turut menghiasi, seakan menyetujui perselisihan yang kian larut ini.

Sekilas slogan-slogan tersebut memberi kesejukan dan ketenangan jiwa manusia. Dengan dalih "... walaupun berselisih atau berbeda pemahaman, yang penting ukhuwah (persaudaraan) tetap terjalin." Walhasil ketika bermuamalah, mereka berusaha untuk tidak menyentuh perkara yang diperselisihkan demi menjaga keutuhan ukhuwah. Sekalipun perkara tersebut adalah sesuatu yang prinsip (jelas) hukumnya dalam agama. Sehingga amar ma’ruf nahi munkar sulit dijalankan, karena adanya rambu-rambu toleransi ala mereka.

Mereka tak sadar –bahwa dengan sikap seperti itu- justru melanggengkan perselisihan yang tajam pada umat ini.
Bila kita melihat realita yang ada, tidak sedikit dari kalangan muslimin yang terperosok jauh akibat perselisihan tersebut. Mereka tidak bisa menerima dan menjalani konsekwensi dari slogan-slogan di atas tadi (“perselisihan adalah rahmat” dan lain-lain). Perselisihan pun menjadi kian meruncing nan tajam.

Bahkan diantara mereka terjatuh dalam pertikaian, permusuhan, bersitegang urat sampai pada bentrokan fisik. Karena masing-masing pihak merasa bangga dan ingin memenangkan pendapat yang dipeganginya.

Mereka yang berpendapat bahwa perselisihan adalah rahmat, berpegang pada hadits:

إختلاف أمتي رحمة
Perselisihan di antara umatku adalah rahmat


Nah…sebenarnya bagaimana kedudukan/derajat hadits ini?


Asy Syeikh Al Muhadits Nashiruddin Al Albani rohimahullah dalam Silsilah Ahadits Adh Dho’ifah mengenai “hadits” ini, beliau berkata : “Hadits ini tidak ada asalnya”. Para muhadits sudah berupaya keras untuk mendapatkan sanad hadits ini tetapi mereka tidak mendapatkannya. Sampai beliau (Al Albani) berkata : “Al Munawi menukil dari As Subki bahwa dia berkata : “Hadits ini tidak dikenal oleh para muhadits, dan saya belum mendapatkannya baik dalam sanad yang shohih, dho’if, atau maudlu’. Syaikh Zakariya Al Anshori menyetujuinya dalam ta’liq atas Tafsir Al Baidlawi 2/92 Qaaf (masih dalam manuskrif).

Makna hadits ini pun diingkari oleh para ulama peneliti hadits. Al ‘Allamah Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya Al Ihkam fi Ushulil Ahkam Juz 5/hal 64 setelah beliau mengisyaratkan bahwasanya “ucapan” itu bukan hadits : “Ini adalah ucapan rusak yang paling rusak. Karena jika perselisihan itu rahmat, tentu kesepakatan itu sesuatu yang dibenci dan tidak ada seorang muslim pun yang mengatakan demikian. Yang ada hanya kesepakatan atau perselisihan, rahmat atau dibenci. Di kesempatan lain beliau mengatakan : “batil dan dusta”. (Silsilah Ahadits Adh Dho’ifah juz 1, hadits no 57 hal 141)

Dalam kitab Zajrul Mutahawin bi Adz Dzoror Qo’idatil Ma’dzaroh wa Ta’awun hal 32, yang ditulis oleh Hamad bin Ibrohim Al Utsman dan kitab ini telah dimuroja’ah (diteliti ulang) oleh Asy Syeikh Al Allamah Sholeh bin Fauzan Al Fauzan. Disebutkan bahwa : “Hadits ini lemah secara sanad dan matan. Tidak diriwayatkan di dalam kitab-kitab hadits dengan lafadz ini.
Adapun yang masyhur adalah hadits “Perselisihan para shahabatku adalah rahmat”. Dan sebagian dari ulama ahli ushul menyebutkan hadits tersebut sebagaimana yang dilakukan Ibnul Hajib di dalam Mukhtashornya tentang ushul fiqih.

Berkata Abu Muhammad ibnu Hazm : “Adapun hadits yang telah disebutkan “Perselisihan umatku adalah rahmat” adalah kebatilan dan kedustaan yang bermuara dari orang yang fasik.” (Al Ahkam fi Ushulil Ahkam 5/61)
Al Qoshimy mengomentari (sanad dan matan) hadits ini, dalam kitab Mahasinut Ta’wil 4/928 : “Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa hadits ini tidak dikenal keshohihan sanadnya. At Thobrony dan Al Baihaqy meriwayatkannya di dalam kitab Al Madkhol dengan sanad yang lemah dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’.

Adapun ‘ilat (kelemahan) hadits ini adalah :
1. Adanya perawi yang bernama Sulaiman bin Abi Karimah, Abu Hatim Ar Rozy melemahkannya.
2. Perawi yang bernama Juwaibir, dia seorang Matrukul Hadits (ditinggalkan haditsnya) sebagaimana yang dinyatakan Nasa’i, Daruquthny. Dia meriwayatkan dari Adh Dhohhak perkara-perkara yang palsu termasuk “hadits” ini.
3. Terputusnya (jalur riwayat) antara Adh Dhohhak dan Ibnu ‘Abbas.

Selain dha’if secara sanad. Hadits ini juga dha’if secara matan. Karena menyelisihi nash-nash, diantaranya:

“…tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabb-mu… “(Huud: 118-119)

“Persatuan (jama’ah) adalah rahmat dan perpecahan (furqah) adalah adzab.” (HR. Ahmad. Syaikh al-Albani menshahihkannya dalam ash-Shahihah, hadits no. 667)

Kesimpulan

Saudaraku…Tidak mungkin bagi umat Islam terpecah satu sama lainnya dan saling membanggakan apa yang ada pada mereka, kecuali jika pada mereka ada sesuatu yang bukan dari al-Qur'an dan sunnah, yaitu kebid’ahan-kebid’ahan dan “ide-ide” baru yang ditambah-tambahkan ke dalam Islam.

Rasulullah berlepas diri dari mereka yang sengaja memecah-belah agama mereka dan mengajarkan ajaran-ajaran baru yang diatasnamakan Islam, sehingga jadilah Islam ini berwarna-warni; ada Islam merah, Islam kuning, Islam biru dan lain-lain. Dan Allah memisahkan Rasulullah dari mereka dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung-jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. (al-An’aam: 159)

Ummu Salamah radiallahu ‘anha setelah membaca ayat ini—berkata: “Ketahuilah bahwa nabi kalian berlepas diri dari mereka yang memecah-belah agamanya menjadi berbagai macam aliran”. (Lihat al-I’tisham, Imam Syatibi, 1/80)

Dengan ini, maka seluruh kaum muslimin harus berada dalam satu jama’ah, jangan berpecah-belah dan jangan memisahkan diri dengan pendapat-pendapat baru yang nyleneh (baca: bid’ah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Wajib atas kalian untuk tetap bersama jama’ah. Sesungguhnya setan bersama orang yang satu. Adapun dari orang yang berdua dia lebih jauh. Barang siapa yang menginginkan tengah-tengahnya surga, maka hendaklah dia bersama jamaa’ah.” (HR. Tirmidzi dan ia berkata: “Hadits hasan shahih gharib. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Jami’ at-Tirmidzi, no. hadits 2165)

Khatimah

Setelah mengetahui kedudukan hadits yang menyatakan bahwa perselisihan adalah rahmat. Maka hendaklah kita merapatkan barisan dan bersatu di atas jalan Allah.

"Dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai-berai. Dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati kalian, lalu jadilah kalian karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara. Dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian mendapat petunjuk." (Ali Imran: 103)

Ayat ini memerintahkan seluruh kaum muslimin untuk bersatu di atas jalan Allah dan melarang kita untuk berpecah-belah. Disebutkan dalam ayat ini, bahwa persatuan yang diperintahkan adalah persatuan di atas kitab dan sunnah atau di atas tali Allah. Barang siapa yang melepaskan diri atau mengambil jalan lain selain jalan Allah, maka dialah yang memisahkan diri dari jama’ah kaum muslimin dan berarti dialah yang menyebabkan terjadinya perpecahan.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radiallahu 'anhu bahwa dia berkata:
Rasulullah pernah menggariskan satu garis (di tanah) dengan tangan beliau seraya berkata: “Ini jalan Allah yang lurus”. Kemudian beliau menggariskan garis-garis di kanan dan kiri garis tadi dan berkata: “Ini jalan-jalan lain, tidak ada satu jalan pun di sana, kecuali ada setan yang mengajak kepadanya”. Kemudian beliau membaca ayat: wa anna hadza shirathii mustaqiiman fattabi’iuhu… (HR. Imam Ahmad, Nasa’i, Darimi, Ibnu Abi Hatim dan Hakim dan beliau menshahihkannya)

Adapun yang dimaksud adalah ayat Allah dalam surat al-An’aam: 153:
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa.” (al-An’aam: 153)

Ayat ini pun mengajak umat Islam kepada persatuan dan melarang perpecahan, bersatu di jalan Allah dan jangan berpecah-belah dengan mengikuti jalan-jalan lainnya. Jalan Allah tersebut bukanlah satu organisasi, partai, kelompok atau firqah-firqah tertentu. Melainkan jalan yang Allah gariskan melalui lisan Rasul-Nya.


Referensi:

Al-Qur’anul Karim

Bagaimana kedudukan hadits 'Perselisihan umatku adalah rahmat. Al Ustadz Abu Abdurahman Abdul Aziz. http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=113

Mempererat Persatuan, Menjauhi Perpecahan. Al Ustadz Muhammad Umar As-Sewed. http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=1074

Silsilah hadits dha’if dan maudhu. Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani


Tidak ada komentar:

Posting Komentar